ALHAMDULILLAAHIROBBIL'AALAMIIN...
MAHA SUCI ALLAH SWT...MAHA PENCIPTA SEGALANYA
ALLAH SWT telah mengamanahi dan memberi karunia luar biasa besar kepada kami (Redi Rinaldi & Yuni Sri Astuti) berupa seorang bayi mungil yang sehat. Lahirnya buah hati kami yang pertama ini agak diluar perkiraan, lebih cepat 14 hari dari perkiraan dokter tempat kami biasa berkonsultasi. Dokter memperkirakan buah hati kami ini akan lahir sekitar tanggal 9 Juli 2009.
Namanya juga kira-kira, heheee..
Tapi kan pake alat canggih?
Alat kan buatan manusia, sangat terbatas segalanya..
Segala Puji Hanya Bagi ALLAH SWT yang memberi manusia sedikit ilmu sehingga walau tidak tepat, sudah sangat membantu, jadi ada gambaran waktunya.
Meski diluar perkiraan ini tidaklah mengagetkan sama sekali. Ini kesekian kali ALLAH SWT memberi bukti bahwa manusia tidak mengetahui apa-apa. ALLAH SWT, Sang Khaliq-lah yang Maha Menentukan kapan buah hati kami ini lahir, menentukan tempat bahkan dengan cara apa dia dilahirkan.
Kamis, 25 Juni 2009 sepulang dari kantor saya melihat istri sedang senam ibu hamil, di tempat tidur sambil memegang buku panduan geraknya. Malam itu ba’da Isya saya telah di-sms Pak Antoni Minor bahwa akan ada rapat pengurus Majlis Tholabul 'Ilmi Al-Hanif, saya diminta hadir. Ternyata pada waktu yang sama juga akan ada rapat pembentukan perwakilan kas Baitul Maal Wattamwill El-Hanif di Hanura. Setelah melalui pikir-pikir dalam hati saya memutuskan ikut rapat pengurus MTI Al-Hanif saja di Aula Pengajian lantai 2. Kira-kira jam 11 malam Mamak (ibu mertua saya) naik ke aula atas memanggil saya dan mengatakan bahwa Pelita (adok/gelar Lampung untuk istri saya “Kimas Pelita Siddiq”, saya waktu menikah diberi adok "Kemas Mangku Jaya Amanah") mengalami pecah ketuban jam setengah sebelas tadi, sudah dibawa ke Bidan Echi, tetangga kami, dikatakannya baru bukaan satu (apaan tuh, dalam hati saya), jadi disuruh jalan-jalan dulu (kemana?). Karena panik saya putuskan membawa istri ke RS Urip Sumoharjo. Sesampainya disana Perawat atau Bidan menanyakan dengan siapa kami biasa konsul. Saya jawab terakhir dengan dr. Taufiqurrahman, S.POG (sebelumnya pernah dengan dr. Arman Sanun, S.POG, Bidan Parini dan Bidan Echi).
Saya khawatir dengan kondisi istri dan kandungannya, tapi ada aliran ketenangan disela-sela kekhawatiran itu. Ketubannya sudah pecah tapi tidak ada rasa sakit atau mual layaknya ibu yang akan bersalin, bayinya nggak ngajak katanya. Akhirnya istri saya di-infus dan diberi obat agar timbul rasa mual. Saya tak henti berdoa, berdzikir dan mengingatkan istri hal serupa. Saya cukup tenang, tidak dibuat-buat supaya tenang, tapi timbul sendiri. Dzikir itupun mengalir dengan sendirinya.
Sampai fajar menjelang keadaan tidak banyak berkembang, malah semakin membuat saya agak cemas. Istri saya sudah merasakan mual bahkan sakit yang tak bisa saya bayangkan, namun ketika Bidan memeriksa ternyata masih juga bukaan satu. Bidan tersebut mengatakan bahwa apabila pecah ketuban lebih dari delapan jam sebaiknya diambil langkah operasi Caesar. Hal ini untuk menghindari bayi terkena infeksi atau keracunan. Lutut saya goyah!
Sejak malam istri saya terus berjuang. Keringat tak henti memancar di wajahnya, di seluruh tubuhnya.
Tak lama berselang Ayah (H. Suhaimi Yusuf) menelpon menanyakan kabar, saya ceritakan semuanya. Beliau meminta saya tetap tenang.
Pada pengecekan berikutnya terjadi perkembangan,
“Sudah bukaan dua, Pak” Bidan tersenyum. Hati saya tak karuan.
Selanjutnya bukaan empat, lalu lima…dan sudah lengkap. Saya lihat jam pukul sepuluh siang. Tak terasa, saya tak merasa. Didalam kamar tempat istri saya berjuang ini suasana tidak berubah, lampu tetap menyala seperti pertama saya masuk, walau pernah beberapa kali listrik padam namun genset segera beraksi.
Saya tetap mendampingi istri. Saya tetap disisinya. Saya sediakan diri untuk ditarik-tarik saat rasa sakit mendera. Sesekali saya seka keringat di dahi dan wajahnya. Mama dan Mamak hanya bolak-balik keluar masuk ruangan. Mamak bahkan tiba-tiba sakit kepala karena tegang. Teh Neng, kakak ipar saya beristirahat di luar setelah semalaman begadang di samping istri saya.
Ketika akhirnya dokter datang semua peralatan disiapkan. Sekitar lima orang bidan mendampingi. Setelah hampir setengah jam berjuang, bayi kami belum juga lahir. Istri saya tidak kuat ngeden, ngedennya hanya sampai di leher, tidak di perut. Dokter meminta persetujuan saya untuk menggunakan alat bantu vacuum. Jika bersedia saya diminta menandatangani surat persetujuan. Mendengar kata “tanda tangan” saya jadi bertanya,
“Resikonya apa Dok?”
Dokter mengatakan itu hanya untuk membantu kelancaran persalinan. Kalau lama "di jalan" kasihan bayinya. Atas persetujuan istri saya pun menandatangani surat tersebut.
Tepat pukul 11.15 WIB buah hati kami dilahirkan, laki-laki, jum'at 3 Rajab 1430 H / 26 Juni 2009. panjang 49 cm, berat 3 kg. (Insert foto: Lagi digendong Tamong (kakek)-nya)
Kepada semua kami mohon doa semoga jadi anak sholeh, menjadi penyejuk pandangan dan hati serta menjadi pemimpin orang-orang bertaqwa...Aamiin!
“ROBBANA HABLANA MIN AZWAAJINA WADZURRIYYAATINA QURROTA A’YUN WAJ’ALNA LILMUTTAQIINA IMAMA…AAMIIN”